Kamis, 08 Mei 2008

Ceita Rakyat (Folk Lore)



BAGIAN 1


Petang hari, tatkala matahari lelap di peraduan. Hembusan angin semilir yang sejuk, menghantar wajah rembulan bulat menggantung di langit semakin cantik. Tidak seperti harihari kemarin, nuansa rembulan malam ini, ternyata mempunyai makna khusus. Ya, purnama kelima jatuh di bumi. Hari yang sangat sakral, bagi penganut Hindu. Memang sampai limabelas hari setelah bulan mati, secara rutin dewi malam menghadirkan rembulan sepotong berangsur penuh, yang selalu menerangi, bahkan menghibur hati semua mahluk agar tak terbenam lara berkepanjangan. Namun, purnama kini, lebih berarti. Konon, menurut pengalaman yang dicatat di daun lontar, purnama punya ciri kalau warnanya pucat artinya lain, kalau semburat merah artinya juga lain. Dan, yang sangat menakutkan justru kalau purnama berpendar bayangan putih, melingkar berlapis-lapis. Orang bijak, menggarisnya sebagai ciri akan terjadi bencana menimpa bumi. Mereka secara temurun menyebutnya; bulan mekalangan. Akh, bencana apa gerangan menimpa negeri ?
Pertanyaan yang muncul itu bisa bermacam jawaban, bisa begini bisa pula begitu. Dan, semua akan tenggelam dalam pikiran masing-masing. Akhirnya, waspada. Berusaha melindungi keluarga. Begitu pula yang terjadi pada keluarga Men Candri, yang hidup sederhana dari hasil menjual nasi tekot di pasar. Pekerjaan itu dilakoninya sejak suaminya tak lagi bersamanya, karena lebih dulu menghadap Ida Hyang Embang, penguasa jiwa setiap mahluk. Sebagai janda berputri tunggal, ia tak merasa terhina, bahkan ia memacu putrinya menjadi perempuan berguna dengan berbagai bekal yang lazim dilakukan masa itu, sebagai penari bali.
Sepanjang hari, ia berlatih tari di rumah Desak Ade yang orangtuanya pernah kesohor sebagai penari istana.Sayang memang, di antara saudara-saudaranya yang tekun dan mau melanjutkan kepandaian orangtuanya hanyalah Desak Ade seorang. Sebenarnya, ia mampu menari di istana. Namun, karena wajahnya buruk, ia jadi miris. Ia tak kurang akal, ia buka sanggar tari, dari anak-anak sampai remaja putri dirangkulnya,di didiknya, diajarinya ilmu etika, selain seni gerak sehingga kesantunan yang ditampilkan saat pertunjukan memikat penonton.
Termasuk Ni Luh Ayu Layon Sari, putri Men Candri yang kini beranjak remaja. Dari kecil ia asuh, bahkan dianggap seperti putrinya sendiri. Diakuinya, gadis itu punya talenta sebagai seniman tari. Di antara kawan-kawannya, ia telah mampu menguasai dua puluh jenis tari. Sehingga, kadangkala, andaikata gurunya berhalangan; menghadiri kondangan di rumah tetangga, misalnya, ia dibebani melatih penari-penari pemula. Layon Sari sangat senang, sampai-sampai berjam-jam tak mengenal lelah.
“Biyang perhatikan, kamu sudah siap tampil sebagai penari…”ujar Desak Ade suatu hari.
Layon Sari tersipu, lalu mendekat dan bersimpuh di depan gurunya. Sembari memijat-mijat kaki gurunya, ia berkata.
“Biyang, serius ?!”
“Ya, Ayu…ada baiknya engkau coba, besok Bape Bendesa ada hayatan upacara rajaswala maukah engkau menari di sana ?”
“Mau, Biyang…tari apa ya ?”
“Legong kraton…”
Layon Sari mengangguk, wajahnya berbinar cerah. Kulitnya yang gading bersemu merah,menambah elok parasnya.
Malam ini, ia melamun di sekepat, menghayalkan kemampuannya akan dilihat banyak orang. Yang dulunya, hanya anak ingusan, yang bisanya cuma membantu membungkus nasi manakala ibunya sibuk melayani orang-orang belanja membeli nasi tekotnya. Besok akan berubah total, menjadi selebriti desa dan jadi gunjingan para pemuda. Oh, betapa bahagianya.
Tak dilihatnya, sang bunda mendekat mengelus rambutnya yang panjang tergerai sampai dipinggulnya.“Cening, lekas tidur. Biar besok pagi, kau bisa membantu Meme di peken ?”
“Me, bolehkah tiang minta izin sehari saja ?”
“Lha ? Kenapa ?”
“Tiang besok mau menari di rumah Pan Bendesa, kan beliau ada hayatan ?”
“O, ya ? Selamat cening, aduh tak kusangka putri Meme berhasil ?”
Mereka tersenyum, saling tatap, lantas berangkulan. Mata mereka bersamaan menatap langit. Betapa terkejutnya mereka, tatkala sinar bulan yang terang dilingkari garis elips berlapis lapis.
“Bulan berkalangan ?!”jerit Men Candri tertahan, sembari melepaskan rangkulannya.
“Ciri apa, Me ?”
“Menurut kakekmu dulu, kalau ada bulan mekalangan ada pertanda buruk, Ning…”
Layon Sari menatap lekat wajah ibunya. Ia tak ingin, apa yang dilamunkannya tadi berubah bencana.
“Aku mengerti kegusaran hatimu, Ning. Lakoni saja, tak perlu kaubimbang, semua sudah ada yang mengatur, yakni Ida Hyang Embang di atas sana. Ikhlaskan saja dirimu, Beliau tentu memberikan yang terbaik…”ujar Men Candri pada Layon Sari
Mereka menatap sekali lagi batas langit, bulan berkalangan semakin besar. Dan, beberapa detik kemudian dari langit terjauh mereka melihat cahaya bintang berekor melintas menembus cahaya bulan.
“Cepat, Ning. Minta sesuatu pada bintang kukus itu,”katanya kemudian.
“Aku minta agar aku menjadi penari hebat, Me ?”
“Ya, mendapat jodoh yang hebat pula…”sambung Men Candri.
“Meme ?!”manjanya. Lalu melengos. Airmukanya, bersemu merah. Malu.
***


“Aku mengerti kegusaran hatimu, Ning. Lakoni saja, tak perlu kaubimbang, semua sudah ada yang mengatur, yakni Ida Hyang Embang di atas sana. Ikhlaskan saja dirimu, Beliau tentu memberikan yang terbaik…”ujar Men Candri pada Layon Sari.


Gong kebyar mengalun merdu. Rupanya, sekeha tabuh penuh perasaan menabuhnya. Sehingga para tamu merasa kerasan. Tamu undangan berasal dari berbagai Banjar di bawah koordinasi Bendesa Adat Teluk Terima. Mereka hadir menyaksikan Upacara Rajaswala putra dan putri Klian Bendesa.
Acara makan bersama di atas dulang gibungan telah selesai, kini mereka akan menyaksikan prosesi upacara rajaswala yang dipuput oleh Ida Pedanda, di pekarangan dalem. Namun, di sela-sela acara ada balih-balian, yang menari adalah anak-anak asuhan Desak Made Diastiani dari Puri Kelodan.
Tari demi tari berlalu, penonton sangat senang. Akhirnya, tarian puncak pun tiba. Tari Legong Kraton. Tari yang mengambil gerak keras dengan kombinasi lembut ini dibawakan oleh Layon Sari, putri seorang pedagang nasi tekot di pasar desa.
Di balik pakaian yang gagah, dan pernik hiasan mahkota, gerakan dan mimik Layon Sari sangat memukau hadirin. Apalagi kerling matanya yang bulat, saat melirik tajam. Ups! Membuat orang jadi penasaran. Namun, justru kini sebaliknya, tatkala lirikan penari itu jatuh. Seorang pemuda tampan memungutnya, dan ia melempar senyum. Ya, membuat dada Layon Sari tertekan hebat. Senyum itu, ya, senyum yang pernah dimimpikannya suatu malam, tapi kapan ?
Hampir saja, gerakannya tertahan. Dan, parahnya hampir saja kipasnya terjatuh. Yang berakibat rusak susu sebelanga, rusak pula karirnya sebagai penari. Untung saja reflek, ia bisa menguasai keadaan, dan tariannya mulus selesai dengan indahnya. Suara tepuk tangan penonton riuh memberi semangat. Layon Sari berdiri, lalu keluar arena pertunjukkan, kesana-kemari matanya jelalatan mencari si pemuda. Ia tak jumpai, sesuai keinginannya.
***
Gunjingan orang-orang di pasar terhadap kemampuan putri Men Candri menari membawa hikmah, dagangannya laris manis.
“O, ini putrinya itu ya, Me ?”
“Ya, Tu Biyang.”
“Agung yang cerita, katanya penari yang heboh di acara Klian Bendesa kemarin adalah penjaja nasi tekot di pasar, aku ingin buktikan dan benar…”
“Ya, anak tiang, masih harus belajar lebih tekun…mohon maaf kalau tidak memuaskan…”
“Bukan begitu, putrimu menari luar biasa, kok. Kalau ada acara di puri, Ayu bersedia menari kan ?”
“Tentu, Ratu…suatu kebanggaan bagi kami, berkenan menerima putri hamba ?”
Layon Sari tersenyum malu, sepasang telinganya yang tajam menguping percakapan bundanya dengan istri punggawa Kerajaan Buleleng, I Gusti Ngurah Merta. Ia tak menduga sebelumnya, istri punggawa mau turun ke pasar. Hanya karena tariannya di panggung acara rajaswala kemarin. Pikirannya pun menerawang. Baru saja ia mengingat kronologisnya, oh…senyum itu muncul lagi.”Apa yang terjadi padaku ?” Jerit hatinya.
“Maaf, tiang mau beli sebungkus nasi, Bu ?” Seorang pemuda menawar.
Cekatan tangan Men Candri menyendok nasi, menaruh lauk di atas daun pisang yang di pilah putrinya. Dan, baru saja ia menyerahkan susuk. Dilihatnya putrinya terpaku, ya tertegun melihat senyum di wajah pemuda pembeli nasi yang menghilang di riak kerumunan orang-orang di tengah pasar.
Bersambung…





Tidak ada komentar: