Sabtu, 31 Mei 2008

Gebyar Seni Menyambut Tahun Baru








KAMPUNG TUA KARANG MEDAIN
MENGELAR GEBYAR SENI DAN LOMBA LUKIS ANAK
Oleh : Putu Sugih Arta


Menurut catatan sebuah naskah lama, tentang terjadinya Daerah Wisata Suranadi. Karang Medain disebut-sebut sebagai daerah yang warganya urun serta bersama Pedanda Sakti Wawu Rauh membangunnya. Kejadian itu, menandakan warga Karang Medain di masa itu sudah ada. Apalagi, ditulis oleh sang pengawi, berdasarkan pewisik Banjar Karang Medain berdiri 7 abad yang lalu. Hal ini, menandakan usia kampong itu sudah tua sekali. Menyadari potensi adanya kampong tua di jantung kota, para pemudanya menggelar gebyarseni kampong tua 9 dan 31 Desember 2007. Kegiatan yang disponsori pula oleh PT. Karya Pak Oles Cab. NTB ini menggelar pula Lomba Lukis Anak yang dibuka oleh Kepala Dinas Pendidikan Kota Mataram, Drs. HL. Syafi’i, MM.
Lomba yang terdiri dari tiga kategori mata lomba yaitu, lomba melukis untuk anak SD dan TK, Lomba mewarnai untuk anak SD dan Lomba mewarnai untuk kategori TK ini memperebutkan piala bergilir satu-satunya yang pernah digelar di Kota Mataram, nantinya, akan diperebutkan selama kurun waktu dua tahun sekali.
Setelah ditanya, tidak adanya pemisahan pada kategori melukis bagi siswa SD dan TK menurut Mahendra sebagai Ketua dewan juri menyatakan bahwa kemampuan untuk melukis ditekankan pada unsur kreatifitas berkarya, “anak TK andaikata punya potensi, ia bisa mengalahkan anak SD, karena dalam melukis peran imajinasi dan kejujuran sebagai penunjang karya itu bermutu atau tidak,”tegasnya
Lomba yang bertujuan membina dan mengembangkan kecintaan anak didik terhadap kegiatan melukis dan memberi motivasi untuk lebih meningkatkan kemampuan anak dalam mengekspresikan diri melalui kegiatan melukis sesuai dengan bakat, kemampuan dan minat ini menurut Ketua Panitia Gebyar Seni Kampoeng Toea Karang Medain, I Nengah Adiartha. “Karang Medain adalah kampung tua yang sudah 7 abad lebih berdiri, semua itu tercatat dalam prasasti sejarah pakeling Suranadi, maka seyogyanya menggelar gebyar seni akhir tahun yang terdiri dari bermacam-macam bentuk seni yaitu seni lukis, musikalisasi puisi Ary Juliyant serta pagelaran band-band lokal di saat malam tahun baru,”tandasnya. Mahasiswa FE Unram Jurusan Akuntansi ini.
Adapun pemenang lomba mewarnai kategori SD juara I disabet oleh Izzatul Utama Yahya dari SDN 2 Mataram, Juara II Ni Nyoman Sumerti dari Pesantian Yadnya Kerti Sumanasantaka, Juara III Asri Mentari Putri ( SDN 06 Mataram ), Juara Favorit/pilihan Dwi Upatia ( Pesantian Yadnya Kerti Sumanasantaka ) dan Ovta ( SDN 06 Mataram ). Sedangkan untuk kategori mewarnai TK adalah Juara I Tara ( Umum ), Juara II Cathrin ( TK Alethea ), Juara III Dhea ( TK Depag ), pemenang favorit Mauren ( TK Alethea ) dan Nadwa Ulya Yahya ( TK Bhakti Ibu ).Untuk lomba melukis Juara I Tegar Jati Hartono F dari SDN 44 Mataram, Juara II Kresna Yudha ( Umum ), Juara III Alif Rizaldi Putra ( Umum ), Juara Favorit yaitu Kinanti Bianglala ( SDN 5 Mataram ) dan Ni Wayan Sri Devi Anggreni ( Umum ).
// Repotase : PSA- Majalah Religi

Hikayat “Kampung Tua” Karang Medain

Sebutan kampung tua untuk Karang Medain, memang unik. Karena secara realita justru sebaliknya. Dampak kemajuan pembangunan wilayah perkotaan menggerus istilah tua menjadi modern. Rumah-rumah mewah warga Karang Medain kita dapati di mana-mana. Tidak itu saja, tempat ibadah yang di tata dengan megahnya membuat kesan tua lamat-lamat menjadi asing. Tentunya, bagi generasi muda yang lahir di era modernisasi ini. Kendati demikian, sejarah tak lapuk oleh zaman. Sejarah secara empirik mencatatnya secara naif kondisi sebenarnya di masa itu, ya, tatkala terbentuknya Karang Medain tempo dulu.
Sudut historis Karang Medain, menurut Pakeling Ida Pedanda Nyoman Burwan merupakan catatan perpindahan masyarakatnya tempodulu ke tempat kediamannya sekarang. Menurut catatan yang kami kutip secara utuh sebagai berikut :
Inggih sane wenten Awetara sane ngamelang Baliage ring Sasak sane ketengeran, tabepukulun Ida Bhatara Gede Muter Jagat, Ida sane meduwe Pakemit sane dados mencangah anggan Ida, belig tan keles tampaking palu grinda, satya bakti nyanggra Ida Bathara “irika ipun kicen waste” mula Baliage, antuk akweh jadmane pegenahane, mewasta ring medayin. Arti medayin = nenten wenten purun jagi nanggulin ring payudan. Ingging antuk sampun bekpisan pagenahan ipunne ring medain, irike wenten purun uningayang atur ring Bathara Gede Muter Jagat, atur ipune, inggih pukulun paduke Bhatara sesuunan titiang mangda sampun titiang keni raja pinulah, purun nguningayang atur mase kidik ring pekayunan antuk sampun kekehan kaula gotra duwenne samiyan iriki, kantos kakirangan pegenahan antuk sampun kosek pisan pagenahan kantun titiang ngemanutin, wantah Bhatara sewece pemanah titiang jagi ngungsi ngererah pegenahan palungguh Bhatara dauh wacane ngendika ring padewekan titiang.
Pada masa masih di tempat kediaman lama, Gde Batuhu sebagai sesepuh memohon kepada Tuhan bahwa di tempat mereka tinggal sudah penuh dan perlu mencari tempat kediaman yang baru.Selanjutnya, Betara sesuhunan menyarankan demikian :
Tandumade irike Bhatara ngendika: “Pandikan Idane. Nah Cai mapinunasan tekening ire. Ire maang cai tongos ajak nyaman caine mekejang, tomadan a banjar. Ne madan Banjar apang cai nawang, Ba = artinne baktiasih, Anyjar = benih langgeng. Ade tegal kelod kauh, dajan tukad, dauh tukad, uli jani cai mejalan beneng cai ngajanang, ade tukad, di dajan tukade ditu cai nongosin ajak cai makejang, tongose ento adanin Karang Medain.
Beliau menyatakan untuk membangun tempat yang mana posisinya di barat sungai dan di utara sungai. Dan, selanjutnya diberi nama Karang Medain. Secara nyata posisi yang dirujuk ternyata sesuai dengan lokasi Karang Medain sekarang, di mana lingkungan Karang Medain Timur berada di barat Sungai Ancar, sedangkan lingkungan Karang Medain Barat dan lingkungan Karang Medain Utara berada di utara Sungai Ancar.
Selanjutnya, paragraf yang lain menyebutnya : “Sapunika sabda Bhatara ngendika ring Gde Batuhu, irika I Gde ngraris mepamit uli payunan Ida Bhatara ngelaut ipun malih ngorain banjaran ipune mekejang, tur ipun sareng samian mengojog pagenahane kadi sabda pawecanan Ida Bhatara Gede Muter Jagat, tan dumade rauh ipun sampun ring pagenahane, duk ring raine Wraspati Pon Sasih Kedase (10) Tanggal ping 13 Wuku Uye, Isake 1225. Mawinan mewaste pegenahane punika, ring Karang Medain
Sebagai penglingsir—orang yang dituakan—I Gde Batuhu menyampaikan kepada seluruh warganya, supaya secara bersama-sama menuju tanah yang dimaksudkan. Tahun di mana secara jelas ditulis dalam pakeling itu adalah 1225 Saka. Tepatnya, hari Kamis Pon, Bulan ke sepuluh, Wuku Uye, Tahun 1303 Masehi.
Kalau saja kita kurangkan angka tahun sekarang dengan tahun yang dimaksud maka akan kita peroleh angka 704 tahun atau lebih dari 7 abad warga Karang Medain telah mendiami tempatnya kini. Wajar kiranya, wilayah mereka disebut Kampung Tua.
Andaikata umat Hindu, ingin bertitrtayatra ke Mataram, masyarakat Karang Medain mengabadikan perjalanan sejarahnya pada sebuah Pura besar ( umum) di jantung kota Mataram, tepatnya di Jalan Pariwisata, Majeluk. Pura itu, dikenal dengan nama Pura Muter Mataram. Pura Muter, kalau digolongkan termasuk Pura Dang Kahyangan di luar Bali, karena terkit perjalanan Dang Hyang Nirartha ( Pangeran Sangupati ) mengajarkan kitab suci Wedha. Pengurus pura belakangan ini, sedang merehab besar-besaran.
Terinspirasi dengan rehabilitasi Pura Muter yang belum selesai, sampai sekarang demi mempertahankan semangat membangun, para ibu rumah tangga dan remaja putrinya membangun Pesantian Yadnya Kerti Sumanasantaka pada tanggal 22 Desember 2007 lalu dan sempat dikukuhkan oleh Kepala Bidang Bimas Hindu Kanwil Depag Prop. NTB. Uniknya, prakarsa para ibu ternyata secara kebetulan bertepatan dengan hari Ibu Nasional. Menurut rencana pengurus pesantian akan menggelar Lomba Kidung dalam acara menyambut HUTnya yang pertama 22 Desember 2008 yang akan datang .
***
Karang Medain, April 2008

Kamis, 08 Mei 2008

Cerita Rakyat (Folk Lore)

Ceita Rakyat (Folk Lore)



BAGIAN 1


Petang hari, tatkala matahari lelap di peraduan. Hembusan angin semilir yang sejuk, menghantar wajah rembulan bulat menggantung di langit semakin cantik. Tidak seperti harihari kemarin, nuansa rembulan malam ini, ternyata mempunyai makna khusus. Ya, purnama kelima jatuh di bumi. Hari yang sangat sakral, bagi penganut Hindu. Memang sampai limabelas hari setelah bulan mati, secara rutin dewi malam menghadirkan rembulan sepotong berangsur penuh, yang selalu menerangi, bahkan menghibur hati semua mahluk agar tak terbenam lara berkepanjangan. Namun, purnama kini, lebih berarti. Konon, menurut pengalaman yang dicatat di daun lontar, purnama punya ciri kalau warnanya pucat artinya lain, kalau semburat merah artinya juga lain. Dan, yang sangat menakutkan justru kalau purnama berpendar bayangan putih, melingkar berlapis-lapis. Orang bijak, menggarisnya sebagai ciri akan terjadi bencana menimpa bumi. Mereka secara temurun menyebutnya; bulan mekalangan. Akh, bencana apa gerangan menimpa negeri ?
Pertanyaan yang muncul itu bisa bermacam jawaban, bisa begini bisa pula begitu. Dan, semua akan tenggelam dalam pikiran masing-masing. Akhirnya, waspada. Berusaha melindungi keluarga. Begitu pula yang terjadi pada keluarga Men Candri, yang hidup sederhana dari hasil menjual nasi tekot di pasar. Pekerjaan itu dilakoninya sejak suaminya tak lagi bersamanya, karena lebih dulu menghadap Ida Hyang Embang, penguasa jiwa setiap mahluk. Sebagai janda berputri tunggal, ia tak merasa terhina, bahkan ia memacu putrinya menjadi perempuan berguna dengan berbagai bekal yang lazim dilakukan masa itu, sebagai penari bali.
Sepanjang hari, ia berlatih tari di rumah Desak Ade yang orangtuanya pernah kesohor sebagai penari istana.Sayang memang, di antara saudara-saudaranya yang tekun dan mau melanjutkan kepandaian orangtuanya hanyalah Desak Ade seorang. Sebenarnya, ia mampu menari di istana. Namun, karena wajahnya buruk, ia jadi miris. Ia tak kurang akal, ia buka sanggar tari, dari anak-anak sampai remaja putri dirangkulnya,di didiknya, diajarinya ilmu etika, selain seni gerak sehingga kesantunan yang ditampilkan saat pertunjukan memikat penonton.
Termasuk Ni Luh Ayu Layon Sari, putri Men Candri yang kini beranjak remaja. Dari kecil ia asuh, bahkan dianggap seperti putrinya sendiri. Diakuinya, gadis itu punya talenta sebagai seniman tari. Di antara kawan-kawannya, ia telah mampu menguasai dua puluh jenis tari. Sehingga, kadangkala, andaikata gurunya berhalangan; menghadiri kondangan di rumah tetangga, misalnya, ia dibebani melatih penari-penari pemula. Layon Sari sangat senang, sampai-sampai berjam-jam tak mengenal lelah.
“Biyang perhatikan, kamu sudah siap tampil sebagai penari…”ujar Desak Ade suatu hari.
Layon Sari tersipu, lalu mendekat dan bersimpuh di depan gurunya. Sembari memijat-mijat kaki gurunya, ia berkata.
“Biyang, serius ?!”
“Ya, Ayu…ada baiknya engkau coba, besok Bape Bendesa ada hayatan upacara rajaswala maukah engkau menari di sana ?”
“Mau, Biyang…tari apa ya ?”
“Legong kraton…”
Layon Sari mengangguk, wajahnya berbinar cerah. Kulitnya yang gading bersemu merah,menambah elok parasnya.
Malam ini, ia melamun di sekepat, menghayalkan kemampuannya akan dilihat banyak orang. Yang dulunya, hanya anak ingusan, yang bisanya cuma membantu membungkus nasi manakala ibunya sibuk melayani orang-orang belanja membeli nasi tekotnya. Besok akan berubah total, menjadi selebriti desa dan jadi gunjingan para pemuda. Oh, betapa bahagianya.
Tak dilihatnya, sang bunda mendekat mengelus rambutnya yang panjang tergerai sampai dipinggulnya.“Cening, lekas tidur. Biar besok pagi, kau bisa membantu Meme di peken ?”
“Me, bolehkah tiang minta izin sehari saja ?”
“Lha ? Kenapa ?”
“Tiang besok mau menari di rumah Pan Bendesa, kan beliau ada hayatan ?”
“O, ya ? Selamat cening, aduh tak kusangka putri Meme berhasil ?”
Mereka tersenyum, saling tatap, lantas berangkulan. Mata mereka bersamaan menatap langit. Betapa terkejutnya mereka, tatkala sinar bulan yang terang dilingkari garis elips berlapis lapis.
“Bulan berkalangan ?!”jerit Men Candri tertahan, sembari melepaskan rangkulannya.
“Ciri apa, Me ?”
“Menurut kakekmu dulu, kalau ada bulan mekalangan ada pertanda buruk, Ning…”
Layon Sari menatap lekat wajah ibunya. Ia tak ingin, apa yang dilamunkannya tadi berubah bencana.
“Aku mengerti kegusaran hatimu, Ning. Lakoni saja, tak perlu kaubimbang, semua sudah ada yang mengatur, yakni Ida Hyang Embang di atas sana. Ikhlaskan saja dirimu, Beliau tentu memberikan yang terbaik…”ujar Men Candri pada Layon Sari
Mereka menatap sekali lagi batas langit, bulan berkalangan semakin besar. Dan, beberapa detik kemudian dari langit terjauh mereka melihat cahaya bintang berekor melintas menembus cahaya bulan.
“Cepat, Ning. Minta sesuatu pada bintang kukus itu,”katanya kemudian.
“Aku minta agar aku menjadi penari hebat, Me ?”
“Ya, mendapat jodoh yang hebat pula…”sambung Men Candri.
“Meme ?!”manjanya. Lalu melengos. Airmukanya, bersemu merah. Malu.
***


“Aku mengerti kegusaran hatimu, Ning. Lakoni saja, tak perlu kaubimbang, semua sudah ada yang mengatur, yakni Ida Hyang Embang di atas sana. Ikhlaskan saja dirimu, Beliau tentu memberikan yang terbaik…”ujar Men Candri pada Layon Sari.


Gong kebyar mengalun merdu. Rupanya, sekeha tabuh penuh perasaan menabuhnya. Sehingga para tamu merasa kerasan. Tamu undangan berasal dari berbagai Banjar di bawah koordinasi Bendesa Adat Teluk Terima. Mereka hadir menyaksikan Upacara Rajaswala putra dan putri Klian Bendesa.
Acara makan bersama di atas dulang gibungan telah selesai, kini mereka akan menyaksikan prosesi upacara rajaswala yang dipuput oleh Ida Pedanda, di pekarangan dalem. Namun, di sela-sela acara ada balih-balian, yang menari adalah anak-anak asuhan Desak Made Diastiani dari Puri Kelodan.
Tari demi tari berlalu, penonton sangat senang. Akhirnya, tarian puncak pun tiba. Tari Legong Kraton. Tari yang mengambil gerak keras dengan kombinasi lembut ini dibawakan oleh Layon Sari, putri seorang pedagang nasi tekot di pasar desa.
Di balik pakaian yang gagah, dan pernik hiasan mahkota, gerakan dan mimik Layon Sari sangat memukau hadirin. Apalagi kerling matanya yang bulat, saat melirik tajam. Ups! Membuat orang jadi penasaran. Namun, justru kini sebaliknya, tatkala lirikan penari itu jatuh. Seorang pemuda tampan memungutnya, dan ia melempar senyum. Ya, membuat dada Layon Sari tertekan hebat. Senyum itu, ya, senyum yang pernah dimimpikannya suatu malam, tapi kapan ?
Hampir saja, gerakannya tertahan. Dan, parahnya hampir saja kipasnya terjatuh. Yang berakibat rusak susu sebelanga, rusak pula karirnya sebagai penari. Untung saja reflek, ia bisa menguasai keadaan, dan tariannya mulus selesai dengan indahnya. Suara tepuk tangan penonton riuh memberi semangat. Layon Sari berdiri, lalu keluar arena pertunjukkan, kesana-kemari matanya jelalatan mencari si pemuda. Ia tak jumpai, sesuai keinginannya.
***
Gunjingan orang-orang di pasar terhadap kemampuan putri Men Candri menari membawa hikmah, dagangannya laris manis.
“O, ini putrinya itu ya, Me ?”
“Ya, Tu Biyang.”
“Agung yang cerita, katanya penari yang heboh di acara Klian Bendesa kemarin adalah penjaja nasi tekot di pasar, aku ingin buktikan dan benar…”
“Ya, anak tiang, masih harus belajar lebih tekun…mohon maaf kalau tidak memuaskan…”
“Bukan begitu, putrimu menari luar biasa, kok. Kalau ada acara di puri, Ayu bersedia menari kan ?”
“Tentu, Ratu…suatu kebanggaan bagi kami, berkenan menerima putri hamba ?”
Layon Sari tersenyum malu, sepasang telinganya yang tajam menguping percakapan bundanya dengan istri punggawa Kerajaan Buleleng, I Gusti Ngurah Merta. Ia tak menduga sebelumnya, istri punggawa mau turun ke pasar. Hanya karena tariannya di panggung acara rajaswala kemarin. Pikirannya pun menerawang. Baru saja ia mengingat kronologisnya, oh…senyum itu muncul lagi.”Apa yang terjadi padaku ?” Jerit hatinya.
“Maaf, tiang mau beli sebungkus nasi, Bu ?” Seorang pemuda menawar.
Cekatan tangan Men Candri menyendok nasi, menaruh lauk di atas daun pisang yang di pilah putrinya. Dan, baru saja ia menyerahkan susuk. Dilihatnya putrinya terpaku, ya tertegun melihat senyum di wajah pemuda pembeli nasi yang menghilang di riak kerumunan orang-orang di tengah pasar.
Bersambung…